Secangkir Ilmu kopi

Setiap kali meraba hangatnya hati yang tentram, terasa sejuk hembusan angin jika hujan turun pun. Pada sore yang penuh pengharapan, aku diam memandangi wajah langit yang pucat menanti kapan lepaskan rintikan air pada rumah ku. Aku ingin membuka jendela, dan duduk di depan halaman melihat tanaman tumbuh subur dalam ruang yang sempit sekali pun. Mereka tak pernah tak bersyukur pada Tuhan, mereka tak pernah memeningkan bola mata siapa pun yang memandanginya. Aku mengakui semangat tumbuh memang punya tumbuhan, tidak ada tumbuhan yang hidup tapi tak tumbuh, sekilas tersirat dalam pikiran ku. Lalu, angan ku melayang membayangkan deretan beban dalam pundak ku, begitu terasa kontras melihat hujan yang mengguyur mereka hingga cepat sekali mereka menjulang langit.


Aku adalah deretan langkah yang belum hinggap di tanah atau loncat menggapai langit. Jalan ku terasa masih jauh untuk ditempuh, jika aku mengikuti mimpi ku. Mimpi akan masa depan terasa jauh dari apa yang tersuguh di realita hidup ku yang sederhana. Bahkan cita-cita orang tua ku supaya aku menjadi sarjana pun berasal dari itikad yang sederhana, mereka ingin aku dan kakak-kakak ku mempi\unyai kedupan yang lebih baik dari apa yang mereka suguhkan hari ini pada kami.

Di kursi plastik warna merah depan halaman, di dalam ruko tailor punya bapak ku, aku tersenyum menyambut hari yang begitu ramah sore ini. Mendengar hujan gemuruh, aku memang menyukai hujan, deras suaranya selalu membuat gairah menulisku seketika melonjak dan  tangan tak sanggup menolak mengetikkan kata demi kata di laptop kesayangan ku. Menoleh pada kaca yang tergantung di dinding meja potong bapak ku, aku tau aku ini pemimpi yang tak tanggung. Aku tau aku akan menyakiti, menganiaya dan menjalimi hidup keluarga ku, terutama ibu bapak ku jika rasa letih mereka ku balas menganggur di kemudian hari. Aku sadar seberapa berat harapan yang tertanam pada masa depan ku. Padahal aku tahu hari ini dan sejak dulu, bahwa keinginan ku untuk kuliah adalah pengorbanan yang terlalu besar untuk orang tua ku, yang sebenarnya di luar standar kesanggupan mereka.

Tapi langkah ku penuh keyakinan sejak aku masih duduk di kelas satu SMP, saat itu, segalanya membukakan mata ku sedikit demi sedikit, kehidupan ku akan berubah. Segepok uang ribuan yang setiap hari ku genggam saat SD, akan bertambah banyak kelak ketika SMP. Tapi aku tahu perlahan, bahwa uang yang bertambah dalam saku ku, belum cukup membuat aku di pandang sebagai anak bos seperti di SD. Teman-teman ku beragam, diantara mereka banyak yang lebih tebal uang sakunya dibanding aku, atau justru malah lebih sederhana dari sekeliling saudara ku di gemplekan rumah ku dulu.

Namun, aku tahu aku masih dalam kondisi yang beruntung, aku bisa jajan setara dengan teman-teman ku yang sakunya tebal itu saat SMP. Hanya saja, selebihnya aku tak bisa mengikuti gaya hidup mereka yang memang berbeda. Keluarga ku hanya keluarga beruntung yang diberikan rejeki untuk mencukupi kebutuhan kami setiap hari tanpa kekurangan. Beda sekali jika aku melihat keluarga saudara ku yang lain saat itu. Tapi aku salah telah melihat patokan diri ku dari mereka yang mungkin dibawah ku saja. Aku tak memandang gedung tinggi yang menjulang ke langit yang tumbuh pesat seperti tumbuhan depan rumah ku, yang subur dari hujan gratisan dari Tuhan.

Begitu cepatnya gedung-gedung tinggi itu menjulang, tak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi keluarga ku ternyata. Hari ini, ditempat aku memandangi tanaman menari-nari gembira didatangi hujan sebagai pemacu tumbuh mereka, dengan suara hujan yang menyanyikan semangat di liang telinga ku, aku tahu segepok uang yang sudah ditambah berkali -kali lipat saat aku kuliah kini, semakin merosot nilainya. Aku dan keluarga ku dalam keadaan yang tidak dikatakan miskin, namun tidak dapat dikatakan cukup kini. Alasannya, semua anak-anak yang dititipi harapan sederhana itu, belum ada yang menapakan langkah masa depannya di kemapanan.

Aku ini anak bungsu yang menurut perhitungan, adalah anak yang mungkin sudah dapat di bantu kakak-kakaknya saat kuliah ini. Pada kenyataannya tidak semulus itu jalan kami, kakak-kakak ku tidak selurus harapan orang tua ku dalam menjalani pendidikannya. Dari semangat yang tinggi, penuh tanggungjawab dan kerja keras, membuat bapak ku terasa asing dan arogan, sehingga membuat kakak-kakak ku yang lugu, mulai merasa gersang saat mereka mluai melalui jenjang yang disebut remaja, yang akhirnya tak jarang membuat mereka bentrok dengan bapak yang urat-urat syarafnya masih tegang saat pulang kerumah sehabis mengukur dan memotong bahan pakaian seharian. Sedang bagi ibu ku yang menjadi payung kesabaran di derasnya amarah bapak saat memarahi kenakalan kakak-kakak ku, sikapnya seperti tenangnya secangkir kopi yang menemaninya pagi saat baru bangun dan sore saat pulang dari membantu bapak di rukonya. 

Untung saja, di kulit kami yang masih halus dulu, tanpa debu jalanan kami selalu di dekap ibu, ia memberikan relaksasi dikala suhu rumah seperti air mendidih yang membuat hati kami kadang seperti melepuh di hantam suara bapak yang menggelegar seperti halilintar yang menyambar pohon hingga tumbang. Ibu ku pahllawan ku, ibu ku pahlawan kami. Dari secangkir kopi yang selalu di irupnya sedikit demi sedikit setiap pagi dan sore, memberi tahu kami bahwa sebenarnya semangat ibu untuk kami melindungi kami dari stitik debu pun lebih dahsyat dari siapa pun.

Ibu ku selalu meminum kopinya, saat ia menyiapkan baju seragam kami sekolah atau kini, saat aku membuka mata untuk mengingat jadwal kuliah ku pagi hari dan kakak perempuanku membagunkan anaknya berangkat sekolah SD, sedang kakak laki-laki ku yang ku sebut abang yang masih tersungkur di kasurnya yang telanjang tanpa alas. Sambil membawa ketel yang baru saja diangkatnya dari kompor gas, ia selalu membawa secangkir kopinya ke meja makan sambil menuangkan air panas dalam ketel itu ke dispenser merah muda yang tak pernah pudar warnanya dari sejak kami masih kanak-kanak. Lalu ia teguk sekali dan membawanya kembali kebawah bersama ketel panas yang airnya sudah terkuras habis. dan menaruhnya di kolong lemari yang tergantung di dinding dapur. Hingga kapan ia ingat, ia irup kembali kopinya satu teguk, hingga tersisa beberapa teguk saja nanti sore.

Aku melihat ada esensi yang sangat beharga dari secangkir kopi yang selalu ibu minum. Akankah terukir dan terukur bagi ku, betapa lelah dan letihnya ia dan bapak ku seharian memperjuangkan rejeki bagi kehidupan kami yang semakin hari bertambah mahal dan banyak. Sedang aku masih kuliah, dan kakak permpuan ku bersama suaminya kini tidak dikatakan dalam keadaan mapan seperti yang diharapkan dulu, juga abang ku yang belum jelas arahnya.

Aku semakin meresapi rasa yang mulai terusik dari ketenangan menjadi kerenyuhan hati ku di derasnya air hujan mengguyur atap rumah dan halaman ku yang mungil ini, bahwa harapan orang tua ku itu semakin tajam menuju pada ku, dengan sekali lagi menaruh harapan baru semoga aku tidak terlarut dalam emosi keluarga yang sering tak bersahabat karena bertambahnya keletihan ibu dan bapak ku untuk berjuang membiayai kuliah ku yang justru menunjukkan kurva terbalik dengan arus ekonomi dan ke kuatan fisik mereka, yang meski di guyur kopi setiap hari, ibu tetap terlihat semakin tua dan lemah. Juga bapak ku yang semakin bungkuk dan alisnya memutih.

Aku tahu seteguk kopi setiap kali ibu ku meminumnya kini, bukan hanya sekedar untuk membugarkan badannya saat menyetrika, mengesum membatu bapak ku di ruko dan memasak di rumah, tapi memupuk adrenalin mereka untuk selalu bersemangat menggantungkan harapan demi masa depan yang lebih baik bagi anaknya. Dan sekiranya dapat mengharumkan nama baik keluarganya serta menghadiahkan keksuksesan untuk segala pengorbanannya.

Di akhir tetesan air hujan di depan halaman ku ini, aku pun meneteskan semangat yang di larutkan ibu ku setiapnya hari dalam seacangkir kopi. Aku berterima kasih pada Tuhan yang telah menutupi tetesan kerenyuhan hati ku di depan orang tua ku. Sehingga seperti kopi yang selalu memutupi rasa kantuk dan letihnya badan ibu, aku juga ingin sepertinya yang menutupi risau ku untuk tidak menambahnya risau hati orang tua ku.

Ibu, bapak, aku akan selalu menatap kesejukan hujan yang deras membisikkan semangat untuk ku setiap kali ia datang. Dan menjalankan ilmu kopi untuk membuat mu kuat menatap masa depan yang engkau titipkan pada kami. Aku tidak ingin menambah kerisauan mu. Meski kopi tak lazim lagi untuk seseorang seusia mu. Aku akan menggantikannya dengan ramuan ku sendiri, yaitu kesuksesan kelak, di dunia dan di akhirat untuk kita. amiin

@Linna Susanti



Leave a Reply